Baca Buku dan Nonton Film Teen Romcom: LET IT SNOW (2019)

Bagaimana cara mengungkapkan kerisauan tentang isu-isu representatif yang seakan dipaksakan muncul tanpa terkesan menentang? Belum-belum nanti bakal langsung dicap homophobic atau semacamnya. Just say you homophobic and go! Loh??? Tapi mari kita coba menuangkan opini tentang film satu ini dan berharap pembaca mendapat poin yang saya maksud.

Jadi, belum lama ini saya namatin buku Let it Snow di iPusnas dan baru aja selesai menulis ulasannya di akun Goodreads saya. Sewaktu lagi cari-cari info tentang bukunya, saya jadi tahu kalau bukunya sudah dibuat versi filmnya pula. Let it Snow versi film dirilis tanggal 8 November 2019 di Netflix. Sutradaranya Luke Snellin, sedangkan skenarionya ditulis oleh Kay Cannon, Victoria Strouse dan Laura Solon. Kalau di poster resminya tertulis tertulis film ini based on novel terkenal karya John Green, Maureen Johnson dan Laureen Myracle.

Satu hal yang paling dibenci pembaca saat bukunya diadaptasi ke medium film barangkali adalah kemungkinan bahwa filmnya nanti akan jauh berbeda dengan isi bukunya. Beberapa bagian di buku dihilangkan atas alasan durasi saja pun biasanya sudah mendatangkan protes, apalagi kalau dibuat melenceng jauh?

Film Let it Snow adalah contoh film yang melenceng lumayan jauh dari bukunya. Ada beberapa ejaan nama dan penggambaran karakter yang bikin saya, “oh, oke, emang agak susah sih narasi bukunya divisualisasikan,”, tetapi ada pula yang bikin saya ter-wadaw-wadaw.

Julie Reyes (Isabela Merced) adalah penggambaran Jubilee Dougal. Kalau di buku, konflik Jubilee adalah namanya yang terkesan seperti nama panggung penari telanjang, obsesi orangtuanya terhadap Flobie Santa Village yang lantas membuat keduanya digiring ke penjara tepat di malam Natal, dan pacarnya yang mulai sering menghindar. Sedangkan di film, masalah Julie adalah dilema antara mengejar kuliah di Universitas Columbia atau tetap tinggal di kota kecilnya demi menemani ibunya yang sakit-sakitan.

Pada malam Natal, Julie bertemu dengan Stuart Bale (Shameik Moore), penyanyi pop kulit hitam yang sedang naik daun. Dalam buku, Stuart hanyalah anak SMA biasa yang bekerja paruh waktu di Target, dan masih galau sejak diputuskan oleh pacar pemandu soraknya. Stuart dalam buku punya ibu esentrik yang secara terang-terangan menjodohkan dirinya dengan Jubilee, sedang Stuart dalam film adalah fantasi para remaja sekaligus lelucon buat sebagian lainnya.

Sosok Tobin (Mitchell Hope) dan Angie atau The Duke (Kiernan Shipka) adalah dua karakter pada bab yang ditulis John Green. Cerita sejoli ini di buku relatif sama dengan di film. Mereka adalah sahabat akrab. Tobin diceritakan bukan tipikal cowok macho, sedang Angie bergaya seperti cowok. Perjalanan mereka dari rumah menunju Waffle Town terhalang salju dan si kembar berandalan. Bedanya, salah satu teman mereka, JP, kalau di buku diceritakan berdarah Korea, sedang di film yang bernama JP (Matthew Noszka) adalah seorang cowok atletik yang mengusik Tobin tentang perasaannya terhadap Angie. Karakter Asia dalam film digeser ke tokoh Keon (Jacob Batalon) yang bekerja di Waffle Town.

Cerita ketiga adalah tentang Addie (Odeya Rush) yang kelimpungan mencari pacarnya, Jeb (Mason Gooding), yang kabur-kaburan tak bisa dihubungi. Krisis dalam hidup Addie ini yang membuatnya berselisih dengan sahabatnya, Dorrie (Liv Hewson). Dorrie menganggap Addie sosok egois yang salah mengira bahwa dunia terpusat pada dirinya. Dorrie sendiri punya kerisauan pribadi. Ia adalah lesbian yang sudah come out dan merasa sudah menemukan sosok love of her life yaitu, Kerry (Anna Akana), salah seorang anggota pemandu sorak. Dorrie bingung dengan sikap Kerry yang berubah-ubah; saat mereka berdua, Kerry jelas-jelas menunjukkan perasaan yang sama, namun di depan teman-temannya sikap Kerry berubah dingin.

Representasi itu penting, betul. Bagaimanapun umat manusia memang beraneka ragam. Dan sosok-sosok yang dulunya termarjinalkan karena ras, suku, agama maupun orientasi seksual, sudah selayaknya dimunculkan agar kita semakin terbiasa dengan keanekaragaman. Tapi, dalam konteks film atau serial Netflix, kadang-kadang isu representasi mereka ngeselin. Kayak… maksain banget untuk nambahin karakter marjinal. Kalau menambah bobot cerita sih bagus, tapi kalau cuma sekadar ada for the sake to fulfill woke agenda??? Sudah begitu kadang penggambarannya nggak akurat pula. Wadaw!

Untuk film Let it Snow, representasi karakter kulit hitam dan kalangan LGBT cukup wadaw buat saya karena melenceng begitu jauh dari bukunya. Kalau aja filmnya bukan bersumber dari buku yang sudah jelas penggambaran karakternya sih terserah. Nggak mungkir kalau isu coming out di kalangan LGBT remaja adalah isu yang memang ada dan bikin frustasi pelakunya. Saya sendiri cukup tergugah dengan dialog Stuart Bale di film; kayak dapat sedikit insight tentang bintang pop yang sebetulnya gerah juga cuma dianggap seonggok bahan fantasi atau, yang lebih menyedihkan, bahan lelucon yang boleh diketawain siapa aja.

Secara keseluruhan saya B aja sama film ini. Sampai ke menit berapa gitu saya sudah bisa nebak ending-nya. Wah, orang Amerika tuh kalau nggak party sehari aja bakal muntah-muntah apa gimana? Wkwkwk. Dan lagi, film remaja yang memuja-muja cinta sampai segitunya bukan selera saya. Lah wong keliatannya aja mereka segitu gampangnya jatuh ke pelukan orang lain, tentu susah mempercayai ketika mereka seringan itu bilang cinta.

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai